Empat Dimensi Efisiensi Pelayanan Publik

Efisiensi Pelayanan Publik

Samuelson dan Nordhaus (2005)1 mengidentifikasi ada tiga pertanyaan ekonomi mendasar: apa saja barang yang diproduksi, bagaimana barang tersebut dibuat, dan untuk siapa. Dari tiga pertanyaan mendasar itu, muncullah pertanyaan yang tidak kalah penting: kapan harus berproduksi dan bagaimana menyeimbangkan konsumsi saat ini dan masa depan. Teori ekonomi menyatakan persaingan sempurna menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara efisien dengan menekankan pada upaya yang mementingkan individu dan dinamika pasar bebas.

Namun, pasar riil seringkali tidak sempurna, sehingga membolehkan adanya intervensi pemerintah. Meskipun ironisnya, intervensi ini tidak selalu lebih efisien dibandingkan mekanisme pasar yang diintervensinya (Moore, 1995)2. Terdapat perbedaan antara pasar swasta dengan pelayanan publik, dalam pelayanan publik tidak bisa cukup hanya mengandalkan kepentingan pribadi untuk mencapai efisiensi. Sebaliknya, sangat bergantung pada profesionalisme dan motivasi dari pegawai pemerintah sebagai pembantu pemberian layanan publik.

Teori menyatakan bahwa pegawai negeri, yang dimotivasi oleh kepentingan publik, memastikan penggunaan sumber daya secara efisien. Namun, motivasi ini dapat menyebabkan penyediaan yang berlebihan atau inefisiensi. Sebaliknya, para ahli teori pilihan publik berpendapat bahwa kepentingan pribadi dapat mendorong efisiensi jika insentif diselaraskan dengan baik, namun kepentingan pribadi yang tidak terkendali dapat menjadi tidak berfungsi.

Kedua teori tersebut tidak memiliki bukti kuat yang menghubungkannya dengan efisiensi pelayanan publik. Efisiensi dalam pelayanan publik harus menjadi tujuan kebijakan yang disengaja. Kebutuhan ini menjelaskan munculnya Manajemen Publik Baru (NPM), yang mengadopsi teknik sektor swasta seperti manajemen kinerja dan outsourcing untuk meningkatkan efisiensi. Namun, bukti keberhasilan mereka beragam (Andrews, 2010)3.

NPM berfokus pada efisiensi produktif atau memaksimalkan keluaran dibandingkan masukan tetapi mengabaikan dimensi lain seperti efisiensi alokatif, distributif, dan dinamis. Fokus yang sempit ini dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang tidak diinginkan, seperti penurunan kualitas layanan atau peningkatan beban administratif. Kritikus berpendapat bahwa fokus ini melemahkan nilai-nilai demokrasi dan menjadikan pemerintah hanya sekedar melakukan pemotongan biaya.

Menolak efisiensi karena bertentangan dengan tujuan pemerintah adalah tindakan yang kontraproduktif. Sebaliknya, berbagai nilai sektor publik harus diintegrasikan ke dalam konsep efisiensi. Bagian berikutnya mengeksplorasi bagaimana berbagai derivasi dimensi efisiensi dapat memberikan masukan bagi teori dan praktik manajemen publik.

Dimensi 1: Efisiensi Produktif

Efisiensi produktif mengukur input yang dibutuhkan untuk mencapai output. Misalnya, model ini mempertimbangkan jumlah jam yang dihabiskan guru di kelas untuk mempersiapkan siswanya menghadapi ujian. Konsep ini muncul dari studi manufaktur Frederick Taylor, yang mempengaruhi sarjana administrasi publik seperti Gulick, Urwick, dan Simon. Simon mendefinisikan efisiensi sebagai pemilihan alternatif yang menghasilkan hasil terbesar dengan sumber daya yang diberikan (Simon, 1976)4. Hal ini melibatkan memaksimalkan output dan meminimalkan input, yang sering disebut sebagai produktivitas atau efektivitas biaya.

Dalam organisasi publik, mencapai efisiensi produktif berarti memaksimalkan output dalam anggaran yang tetap (Simon, 1976)4. Teknik seperti Data Envelopment Analysis (DEA) memperkirakan efisiensi optimal namun mungkin tidak memandu pengelolaan sumber daya sehari-hari.

Efisiensi produktif sangat penting bagi manajer publik untuk membenarkan pengeluaran dan memilih metode yang hemat biaya. Kebijakan yang mendorong efisiensi produktif merupakan inti dari Manajemen Publik Baru (NPM), seperti agenifikasi, yang mendelegasikan kekuasaan untuk memungkinkan pengendalian biaya. Memisahkan pembelian dan penyediaan senjata dapat menurunkan biaya pengiriman (Hood, 1991)5. Mekanisme pasar, privatisasi, deregulasi, tender kompetitif, dan kemitraan dengan perusahaan swasta merupakan strategi untuk memberikan tekanan kompetitif dan mengurangi biaya.

Meskipun terkait dengan NPM, strategi untuk meminimalkan input dan memaksimalkan output berakar pada literatur klasik birokrasi. Sentralisasi pengambilan keputusan mengurangi biaya dan memperjelas wewenang. Mengkonsolidasikan badan-badan publik dapat mengurangi duplikasi administratif dan mewujudkan skala ekonomi, meningkatkan efisiensi (Pollitt, 2009)6.

NPM menganjurkan pembubaran birokrasi untuk meningkatkan efisiensi, sementara administrasi publik tradisional berupaya memperkuat birokrasi. Kedua pendekatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan rasio input-output, meskipun keduanya mungkin tampak bertentangan. Selanjutnya, kita mengkaji efisiensi alokatif, diikuti oleh efisiensi distributif dan dinamis.

Dimensi 2: Efisiensi Alokatif

Efisiensi alokatif dalam teori ekonomi mengacu pada keselarasan antara pasokan jasa dan permintaan jasa. Hal ini berfokus pada memastikan bahwa sumber daya digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang benar-benar diinginkan masyarakat. Sekalipun suatu layanan diberikan secara efisien, layanan tersebut masih dapat dianggap tidak efisien jika tidak memenuhi permintaan publik atau memerlukan tingkat perpajakan yang tidak berkelanjutan.

Mengukur efisiensi alokatif dalam pelayanan publik merupakan suatu tantangan karena kurangnya sinyal pasar langsung. Penyedia layanan publik mengandalkan umpan balik dari para pemilih, yang dimediasi melalui politisi dan indikator lainnya. Survei adalah metode umum untuk mengukur kepuasan masyarakat dan menilai apakah layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, perubahan bertahap dalam prioritas layanan dan tingkat pajak dapat digunakan untuk memahami preferensi masyarakat (Hills, 2002)7. Jika preferensi masyarakat seimbang, maka paket layanan pajak yang ada dapat dianggap efisien secara alokatif.

Tiebout (1956)8 menyatakan bahwa warga negara dapat “memilih secara langsung” dengan berpindah ke yurisdiksi yang lebih menyeimbangkan perpajakan dan pelayanan publik. Gagasan ini menyiratkan bahwa nilai properti mencerminkan daya tarik paket layanan publik, dengan nilai properti yang lebih tinggi menunjukkan keselarasan barang publik dengan preferensi masyarakat.

Untuk meningkatkan efisiensi alokatif, pemerintah telah menerapkan berbagai reformasi yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi antara warga negara dan pengelola layanan publik. Reformasi pemilu, seperti perwakilan proporsional, diyakini akan menciptakan pemerintahan yang lebih responsif dan representatif serta dapat membuat perencanaan dengan lebih efisien. Beberapa pihak menganjurkan demokrasi langsung atau partisipatif untuk lebih meningkatkan efisiensi alokatif (Deller dan Chicoine, 1993)9.

Desentralisasi dan devolusi merupakan tren global yang bertujuan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas. Tata kelola yang terdesentralisasi diperkirakan akan meningkatkan alokasi sumber daya dengan lebih mencerminkan preferensi lokal dan mengurangi biaya tindakan kolektif.

Inisiatif dari bawah ke atas, seperti survei warga, proses musyawarah, dan kemitraan, bertujuan untuk meningkatkan partisipasi warga dalam struktur pengambilan keputusan yang ada. Para kritikus berpendapat bahwa agar inisiatif-inisiatif ini efektif, inisiatif-inisiatif tersebut perlu dilembagakan dan diberikan kewenangan yang berarti (Fung dan Wright, 2001)10.

Yang terakhir, memperkenalkan pilihan dan kontestabilitas dalam pemberian layanan publik memungkinkan masyarakat untuk memilih antara penyedia atau pilihan layanan yang berbeda, sehingga memberi sinyal di mana sumber daya harus dialokasikan. Mekanisme seperti pasar ini dapat meningkatkan efisiensi alokatif dan produktif dengan memungkinkan penyedia layanan yang sukses untuk memperluas dan menghilangkan penyedia layanan yang tidak efisien. Namun, pilihan juga dapat menimbulkan biaya dan kompleksitas, sehingga sulit untuk mengevaluasi efektivitas keseluruhan (Dowding dan John, 2009)11.

Dimensi 3: Efisiensi Distributif

Efisiensi distributif dalam manajemen publik berkaitan dengan bagaimana sumber daya atau layanan didistribusikan di antara warga negara dan biaya relatif dari distribusi tersebut bagi pemerintah dan masyarakat. Konsep ini lebih dari sekedar efisiensi alokatif, yang berfokus pada penyediaan layanan yang tepat pada tingkat pajak yang dapat diterima, dengan mempertimbangkan keadilan dan pemerataan distribusi sumber daya.

Ide efisiensi distributif berakar pada karya Vilfredo Pareto, yang menyatakan bahwa suatu distribusi dikatakan efisien secara optimal jika tidak ada perubahan yang dapat dilakukan tanpa membuat seseorang menjadi lebih buruk. Namun, optimalitas Pareto tidak selalu menghasilkan distribusi yang adil atau diinginkan secara sosial karena ia mengasumsikan kesetaraan utilitas bagi semua individu dan membuat redistribusi hampir tidak mungkin dilakukan tanpa merugikan utilitas seseorang. Sikap ini menyebabkan beberapa ekonom menentang intervensi pemerintah di pasar bebas, sementara yang lain menyoroti keterbatasannya dan menganjurkan kebijakan redistributif atas dasar efisiensi sosial (Blaug, 2001)12.

Lerner (1944)13 menantang pandangan Pareto dengan memperkenalkan konsep utilitas marjinal yang semakin berkurang, yang menyatakan bahwa peningkatan sumber daya yang sama akan menghasilkan lebih banyak utilitas bagi masyarakat miskin dibandingkan bagi masyarakat kaya. Oleh karena itu, mendistribusikan kembali sumber daya dari kelompok kaya ke kelompok miskin dapat meningkatkan utilitas marjinal masyarakat secara keseluruhan. Hal ini memberikan argumen yang kuat mengenai keterlibatan pemerintah dalam memastikan distribusi sumber daya yang adil untuk memaksimalkan utilitas marginal dan meningkatkan keadilan sosial.

Kebijakan redistributif, seperti pajak dan pembayaran kesejahteraan, merupakan alat penting untuk mencapai efisiensi distributif. Kebijakan-kebijakan ini sering kali tidak sejalan dengan reformasi Manajemen Publik Baru (NPM), yang biasanya fokus pada pengurangan biaya dan respons terhadap pelanggan dibandingkan redistribusi. Untuk meningkatkan efisiensi distributif, organisasi publik mungkin perlu meningkatkan pendapatan tambahan atau merealokasi sumber daya yang ada. Menurut Daly (1992)14, instrumen kebijakan utama untuk mencapai distribusi yang lebih adil adalah transfer, termasuk pajak dan pembayaran kesejahteraan.

Berbagai kebijakan perpajakan dapat meningkatkan efisiensi distributif. Misalnya, pajak rejeki nomplok atas bonus para bankir dapat mendanai program lapangan kerja bagi para pengangguran, dan pajak tersembunyi dapat mentransfer sumber daya dari kelompok kaya ke kelompok kurang beruntung selama liberalisasi ekonomi (Newman, 2003)15. Pembayaran kesejahteraan dan penyediaan barang-barang bermanfaat seperti pendidikan, yang mungkin akan kurang dikonsumsi oleh individu jika dibiarkan sendiri, juga merupakan hal yang penting. Intervensi ini dapat meningkatkan kualitas hidup kelompok kurang beruntung secara signifikan. Misalnya, pembayaran tunjangan anak atau diskon kegiatan rekreasi dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok yang kurang beruntung.

Selain itu, memperluas dukungan pemerintah pada bidang kebijakan utama, seperti pengembangan masyarakat di daerah tertinggal, dapat memberikan manfaat jangka panjang. Penyediaan barang-barang yang bermanfaat oleh pemerintah menjamin ketersediaannya yang stabil dan bertahan lama, sehingga berkontribusi pada distribusi sumber daya dan layanan yang lebih adil.

Pada akhirnya, efisiensi distributif memerlukan komitmen terhadap redistribusi yang berprinsip dan penerapan kebijakan yang mengatasi kesenjangan dan meningkatkan manfaat masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan ini memastikan bahwa barang dan jasa publik didistribusikan dengan cara yang memaksimalkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dimensi 4: Efisiensi Dinamis

Efisiensi dinamis, tidak seperti dimensi efisiensi statis yang dibahas sebelumnya, berfokus pada alokasi sumber daya dari waktu ke waktu, khususnya antara konsumsi saat ini dan masa depan. Konsep ini menekankan perlunya mencapai keseimbangan antara investasi modal untuk keuntungan masa depan dan pemenuhan kebutuhan konsumsi saat ini. Kegagalan mengalokasikan sumber daya secara memadai untuk investasi modal dapat mengakibatkan penurunan manfaat di masa depan, sementara alokasi yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya konsumsi saat ini.

Menentukan keseimbangan yang tepat untuk efisiensi dinamis menimbulkan sebuah tantangan. Barrell dan Weale (2010)16 menguraikan tiga gagasan tentang kesetaraan antargenerasi: setiap kelompok membayar dengan caranya sendiri, realokasi sumber daya antar generasi untuk mengoptimalkan hasil dari waktu ke waktu, atau memastikan standar hidup yang sama di antara generasi-generasi pada masa yang sama. Meskipun suku bunga pasar secara teoritis memandu keseimbangan antara konsumsi saat ini dan masa depan di pasar swasta, mekanisme tersebut tidak berjalan secara otomatis di ranah publik.

Menyeimbangkan konsumsi saat ini dan masa depan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah daerah, misalnya, mempunyai otonomi atas keputusan belanja modal namun harus mematuhi pedoman pinjaman yang hati-hati untuk mencegah tingkat investasi yang terlalu rendah. Efisiensi dinamis juga melibatkan penyeimbangan berbagai jenis pengeluaran saat ini, seperti investasi pada sumber daya manusia atau modal sosial, seperti pendidikan, yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi jangka panjang.

Selain itu, sifat sumber daya yang terbatas dan tidak terbarukan mengharuskan pemerintah untuk mempertimbangkan tingkat konsumsi. Ketergantungan yang besar pada sumber daya tak terbarukan dapat menghambat efisiensi dinamis. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pasar bebas akan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang terkait dengan pemanasan global.

Pencapaian efisiensi dinamis melibatkan pengambilan keputusan yang cermat antara prioritas pengeluaran, termasuk modal versus pengeluaran saat ini, berbagai jenis layanan, dan konservasi sumber daya. Organisasi yang efisien secara dinamis tidak hanya mengalokasikan sumber daya dengan bijak namun juga menjaga kesenjangan untuk penelitian, inovasi, dan perbaikan. Organisasi-organisasi tersebut mungkin memerlukan otonomi untuk menjalankan misi mereka secara efektif dan mengeksplorasi ambisi strategis tanpa hanya berfokus pada meminimalkan biaya produksi saat ini.


Referensi

  1. Samuelson, P. A. and Nordhaus, W. D. (2005) Economics, 18th ed. NY: McGraw-Hill. 

  2. Moore, M. H. (1995) Creating Public Value: Strategic Management in Government. Cambridge, MA: Harvard University Press. 

  3. Andrews, R. (2010) ‘New Public Management and the Search for Efficiency’ in T. Christensen and P. Laegrid (eds) Ashgate Research Companion to the New Public Management. Aldershot: Ashgate Press, pp281–94. 

  4. Simon, H. A. (1976) Administrative Behavior: A Study of Decision-making Processes in Administrative Organization, 3rd ed. London: Macmillan.  2

  5. Hood, C. (1991) A Public Management for All Seasons. Public Administration, 69:1 pp.3–19. 

  6. Pollitt, C. (2009) Structural Change and Public Service Performance: International Lessons. Public Money and Management, 29:5 pp285–91. 

  7. Hills, J. (2002) Following or Leading Public Opinion: Social Security Policy and Attitudes Since 1997. Fiscal Studies, 23:4 pp539–58. 

  8. Tiebout, C. (1956) A Pure Theory of Local Expenditure. Journal of Political Economy, 64:5 pp416–24. 

  9. Deller, S. C. and Chicoine, D. L. (1993) Representative Versus Direct Democracy: A Test of Allocative Efficiency in Local Government Expenditures. Public Finance Review, 21:1 pp100–14. 

  10. Fung, A. and Wright, E. (2001) Deepening Democracy: Innovations in Empowered Participatory Governance. Politics and Society, 29:1 pp5–41. 

  11. Dowding, K. and John, P. (2009) The Value of Choice in Public Policy. Public Administration, 87:2 pp219–33. 

  12. Blaug, M. (2001) Is Competition such a Good Thing? Static Efficiency versus Dynamic Efficiency. Review of Industrial Organization, 19:1 pp37–48. 

  13. Lerner, A.P. (1944) The Economics of Control. New York: Macmillan. 

  14. Daly, H. E. (1992) Allocation, Distribution, and Scale: Towards an Economics that is Efficient, Just, and Sustainable. Ecological Economics, 6:3 pp185–93. 

  15. Newman, A. L. (2003) When Opportunity Knocks: Economic Liberalisation and Stealth Welfare in the United States. Journal of Social Policy, 32:2 pp179–97. 

  16. Barrell, R. and Weale, M. (2010) Fiscal Policy, Fairness between Generations, and National Saving. Oxford Review of Economic Policy, 26:1 pp87–116.