Tempe
Tempe adalah salah satu makanan tradisional berasal dari Indonesia. Tempe menjadi salah satu makanan penting bagi masyarakat Indonesia mengingat harganya yang sangat terjangkau dan kaya akan nutrisi. Tempe biasanya terbuat dari fermentasi kedelai yang menggunakan beberapa jenis kapang rhizopus, seperti rhizopus oligosporus, rhizopus oryzae, rhizopus stolonifer, atau rhizopus arrhizus.1 Namun ada salah satu jenis tempe yang beresiko untuk dikonsumsi, yaitu Tempe Bongkrek.
Tempe Bongkrek
Tempe bongkrek dibuat dengan memfermentasi blondo atau santan dengan jamur rhizopus oligosporus. Ketika jamur tumbuh, untaian vegetatif yang tipis dan halus yang disebut miselia secara fisik mengikat kelapa (atau kedelai, biji-bijian, dll.) untuk membentuk ‘kue’, dan semakin banyak miselia, semakin bagus tempenya.
Asam Bongkrek
Bahaya tempe bongkrek ini disebabkan oleh kandungannya, yaitu Asam Bongkrek yang dihasilkan oleh bakteri bernama Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans (B. cocovenenans). Asam bongkrek adalah asam lemak trikarboksilat tak jenuh dengan berat molekul 486 kDa yang stabil terhadap panas.2

Asam Bongkrek
Burkholderia gladioli pathovar cocovenenans
Burkholderia gladioli adalah spesies bakteri aerob berbentuk batang (bacillus) gram-negatif3 yang umum menyebabkan penyakit pada manusia dan tumbuhan. Ia juga dapat hidup bersimbiosis dengan tanaman dan jamur dan ditemukan di tanah, air, rizosfer, dan mikrobioma banyak hewan. Sebelumnya dikenal sebagai Pseudomonas marginata. Burkholderia gladioli mensintesis beberapa zat penghambat selain asam bongkrek, yaitu di antaranya gladiolin, enacyloxin, dan toxoflavin.4
Ada alasan mengapa tidak ditemukan kasus infeksi bakteri ini atau formasi asam bongkrek di jenis tempe lainnya. Ini karena pertumbuhan bakteri dan asam bongkrek berbanding lurus dengan proporsi jumlah kandungan lemak obyek tempe tersebut. Kelapa yang tinggi lemak (konsentrasi mulai dari 20%) jelas menjadi bahan bakar bagi asam bongkrek untuk muncul. Dalam kasus konsentrasi lemak 10%, seperti kelapa rendah lemak dan kedelai, asam bongkrek tidak terdeteksi, meski dengan jumlah bakteri yang tinggi.5
Paparan dan Toksisitas
Keracunan asam bongkrek biasanya terjadi setelah mengonsumsi makanan yang mengalami fermentasi tidak sempurna dan terkontaminasi Burkholderia gladioli. Kondisi ideal untuk pertumbuhan bakteri dan produksi asam bongkrek meliputi suhu hangat sekitar 22-30°C6 dan pH netral, kondisi yang sama yang digunakan untuk proses fermentasi makanan. Komposisi asam lemak tinggi dari produk kelapa dan jagung menyediakan bahan bakar sempurna untuk sintesis asam bongkrek oleh bakteri Burkholderia gladioli. Racun yang tidak berbau dan tidak berasa ini dapat mencapai tingkat yang berpotensi mematikan (lethal) sebesar 1-1,5 mg2 tanpa mempengaruhi tampak, bau atau rasa makanan yang terkontaminasi. Sekali dikonsumsi, gejala seperti muntah, diare, dan gagal organ dari kerusakan hati, ginjal, dan otak akan muncul dalam 1-10 jam.7
Patofisiologi
Semua itu terjadi karena asam bongkrek merupakan penghambat translokase nukleotida adenin (ANT) sekaligus penghambat fosforilasi oksidatif pada mitokondria. “Satuan mata uang molekuler” kita adalah adenosin trifosfat (ATP), dan asam bongkrek mencegah pembentukannya dengan menghalangi pengangkutan adenosin difosfat (ADP) ke dalam mitokondria, dan fosforilasinya menjadi ATP. Intinya, respirasi sel pada berbagai tingkatan terhenti.5

Fosforilasi
Kasus
Sejak tahun 1975, keracunan tempe bongkrek telah mencapai lebih dari 3000 kasus.8 Di Indonesia, kasus keracunan tempe bongkrek dilaporkan mencapai angka 60% kematian. Kasus keracunan terkait asam bongkrek juga terjadi di negara lain. Di China terjadi kasus keracunan asam bongkrek dari produk fermentasi tepung jagung dan jejamuran.9 Pada tahun 2015, di Mozambik telah menelan kematian 75 orang diakibatkan keracunan terkait asam bongkrek.
Diagnosis dan Penanganan
Mendeteksi keracunan asam bongkrek bisa dibilang menantang. Bakteri ini memang dapat diisolasi dari sampel makanan, namun teknik untuk mendeteksi langsung tingkat asam bongkrek pada sampel pasien langsung belum diketahui dengan baik. Kurangnya alat diagnostik, ditambah dengan sifat asam bongkrek yang tidak jelas (obscure), kemungkinan besar menyebabkan banyak kasus keracunan asam ini tidak dikenali atau salah diagnosis. Meski jarang terjadi di luar wilayah terdampak, kemampuan asam bongkrek dalam mencemari sumber makanan pokok menjadikannya ancaman kesehatan masyarakat yang sangat serius di wilayah yang terkena dampak. Mengingat belum ditemukannya antidot khusus racun ini, meningkatkan kesadaran, menerapkan praktik fermentasi yang lebih aman, dan mengembangkan tindakan pencegahan dan diagnostik yang lebih baik akan sangat penting untuk membatasi dampak mematikan asam bongkrek.
Referensi
-
Deshpande SS. Bongkrek toxins. In: Handbook of food toxicology. New York: Marcel Decker; 2002. ↩ ↩2
-
Denef VJ, Coenye T, Vandamme P. Biodegradation of organic anthropogenic pollutants by Burkholderia species. Burkholderia, Molecular Microbiology and Genomics. Horizon Bioscience, Norfolk, UK. 2007. ↩
-
Song L, Jenner M, Masschelein J, Jones C, Bull MJ, Harris SR, Hartkoorn RC, Vocat A, Romero-Canelon I, Coupland P, Webster G. Discovery and biosynthesis of gladiolin: a Burkholderia gladioli antibiotic with promising activity against Mycobacterium tuberculosis. Journal of the American Chemical Society. 2017. ↩
-
Nature’s Poison - Toxic Tempeh: Death by Bongkrekic Acid ↩ ↩2
-
Garcia RA, Hotchkiss JH, Steinkraus KH. The effect of lipids on bongkrekic (bongkrek) acid toxin production by Burkholderia cocovenenans in coconut media. Food Addit Contam. 1999. ↩
-
Cox J, Kartadarma E, Buckle KA. Burkholderia cocovenenans. In: Hocking AD, editor. Foodborne microorganisms of public healthsignificance. 6th ed. Sydney: Australian Institute of Food Science & Technology; 1997. ↩
-
Anwar M, Kasper A, Steck AR, Schier JG. Bongkrekic acid—a review of a lesser-known mitochondrial toxin. Journal of Medical Toxicology. 2017. ↩
-
Meng Z, Li Z, Jin J, Zhang Y, Liu X, Yiang X, et al. Studies on fermented corn flour poisoning in rural areas of China. I. Epidemiology, clinical manifestations, and pathology. Biomed Environ Sci. 1998 ↩